12.30.2013

Tidak Semua Tanya harus Di Jawab

Tingkat terbawah dalam ilmu adalah paham. Ini wilayah kejernihan logika berfikir dan kerendahan hati. Ilmu tidak membutakannya, malah menjadikannya kaya.

Tingkat ke dua dari bawah adalah kurang paham. Orang kurang paham akan terus belajar sampai dia paham. Ia akan terus bertanya untuk mendapatkan simpul-simpul pemahaman yang benar.

Naik setingkat lagi adalah mereka yang salah paham. Salah paham itu biasanya karena emosi dikedepankan, sehingga ia tidak sempat berfikir jernih. Dan ketika mereka akhirnya paham, mereka biasanya meminta maaf atas kesalah-pahamnya. Jika tidak, ia akan naik ke tingkat tertinggi dari ilmu.

Nah, tingkat tertinggi dari ilmu itu ialah gagal paham. Gagal paham ini biasanya lebih karena kesombongan. Karena merasa berilmu, ia sudah tidak mau lagi menerima ilmu dari orang lain. Ia selalu merasa cukup dengan pendapatnya sendiri.

Parahnya, ia tidak menyadari bahwa pemahamannya yang gagal itu menjadi bahan tertawaan orang yang paham. Ia tetap dengan dirinya bangga dengan kegagalpahamannya.”

“Mengapa paham ada di tingkat terbawah dan gagal paham di tingkat yang paling tinggi...??!. Apa gak terbalik...??!” tanyaku padanya.

Guruku tersenyum. Sepertinya ini momen yang menarik baginya.
Lantas Beliau pun menjawab
“Orang semakin paham akan semakin membumi. Ia menjadi bijaksana karena akhirnya ia tahu bahwa sebenarnya ia tidak tahu apa-apa. Ia terus menerima dari manapun ilmu datangnya. Ia tidak melihat siapa, tetapi apa yang disampaikan. Ia
paham, ilmu itu seperti air dan air hanya mengalir ke tempat yang lebih rendah.
Semakin ia merendahkan hatinya, semakin tercurah ilmu kepadanya.
Sedangkan gagal paham itu ilmu tingkat tinggi. Ia seperti balon gas yang berada di awan. Ia terbang dengan kesombongannya.
Masalahnya, ia tidak mempunyai pijakan yang kuat, sehingga mudah ditiup angin tanpa mampu menolak. Akhirnya ia terbawa ke mana-mana sampai terlupa jalan pulang. Ia tersesat dengan pemahamannya dan lambat laun akan dibinasakan oleh kesombongannya.

Ah aku mengerti sekarang.

“Jadi yang perlu diingat, akal akan berfungsi dengan benar ketika hatimu merendah. Ketika hatimu meninggi, maka ilmu juga-lah yang membutakan si pemilik akal.”

Kuangkat secangkir kopi untuk guruku ini. Ternyata di situlah kuncinya.

“Lidah orang bijaksana berada di dalam hatinya, dan hati orang dungu berada di belakang lidahnya.”

“Ilmu itu makin digali makin terasa dangkal. Jadi kalau ada orang merasa sudah tahu segalanya berarti tidak tahu apa-apa.”
***
Keterangan:
#Berdasarkan kisah saya ketika sedang menimba ilmu agama, tahun 2000, di Pesantren Salafi, desa Cadasari, Pandeglang. Di bawah bimbingan almarhum KH. Abuya Dimyati.
K.H. Muhammad Dimyathi bin K.H. Muhammad Amin Al-Bantani, atau dikenal dengan Abuya Dimyathi atau Mbah Dim (lahir tahun 1925 – meninggal pada tanggal 3 Oktober 2003) adalah seorang ulama Banten kharismatik yang juga dikenal sebagai sufi. Dia berperan sebagai pembimbing para murid dalam menjalani dunia tasawuf.

Abuya lahir sekitar tahun 1925 dari pasangan H. Amin dan Hj.Ruqayah. Dia dikenal sangat haus akan ilmu. Karena itu, ia belajar ilmu agama pada banyak pesantren, mulai dari Pesantren Cadasari, Kadupeseng, Pandeglang, Plamunan hingga Plered.

Semasa hidupnya, Abuya Dimyathi dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kyainya dari para kyai, sehingga tak berlebihan kalau disebut sebagai ulama Khas al-Khas atau rasikhah. Ulama yang sikapnya sehari-hari merupakan cerminan dari ilmu yang dikuasainya. Masyarakat Banten menjulukinya juga sebagai pakunya daerah Banten, di samping sebagai pakunya Negara Indonesia.

Abuya adalah seorang qurra’ dengan lidah yang fasih. Wiridan al-Qur’an sudah istiqamah lebih dari 40 tahun. Kalau salat Tarawih di bulan puasa, tidak turun untuk sahur, kecuali setelah mengkhatamkan al-Qur’an dalam shalat.

Abuya Dimyathi dikenal sosok ulama yang cukup sempurna dalam menjalankan perintah agama. Dia bukan saja mengajarkan ilmu syariah, tetapi juga menjalankan kehidupan sufistik. Tarekat yang dianutnya adalah Naqsabandiyah Qodiriyyah.

Dalam buku Tiga Guru Sufi Tanah Jawa karya H. Murtadho Hadi, Abuya Dimyathi digolongkan bersama Syekh Muslih bin Abdurrahman al-Maraqi (Mranggen, Demak) dan Syekh Romli Tamim (Rejoso, Jombang) sebagai tiga ulama sufi berpengaruh di Jawa. Bahkan, dalam buku Manaqib Abuya Cidahu (Dalam Pesona Langkah di Dua Alam), Abuya yang juga keturunan Sultan Maulana Hasanuddin dan Syarif Hidayatullah ini dikenal sebagai wali qutub.