12.22.2009

Aku akan memanggilmu,ibu selamanya

IBU, membuka kembali diary kebersamaanku denganmu selama kurang-lebih dari 27 tahun adalah ibarat menghitung butiran pasir putih ditepi pantai . Titah-NYAlah yang telah menggariskan, sejak belum genap bilangan satu tahun usiaku, aku sudah ada dalam dekapan hangatmu, di awal 1982 silam.

Rasanya tak akan cukup tinta yang kumiliki ini untuk mengabadikan seberapa besar volume cintamu padaku karena begitu seringnya kau menunjukkannya di depanku, terukir indah di setiap detak nadi kebersamaanku denganmu. Hingga kadang aku tak lagi menganggap hal-hal yang sungguh istimewa itu sebagai sesuatu yang luar biasa.

Adalah rotasi zaman yang kembali membetot memoriku tentangmu, Ibu. Saat-saat membandingkan wajahmu dulu di album kenangan itu dan sosokmu kini. Saat-saat awal masa kanak-kanakku dulu dan sekarang, setelah lebih seperempat abad masa berlari dari tumpukan kenanganku.

Kasih sayang. Aku baru menemukan arti dari semua tangismu itu setelah sekian lama momentum itu berlalu. Kasih sayang. Tidak lain.
Saat kuenggan berangkat ke masjid untuk mengaji di sore hari, dulu, ketika kumasih terbata-bata mengeja huruf demi huruf hijaiyah, kau sering mengomeliku. Kini kutahu, betapa berharganya omelanmu itu. Kau hanya ingin aku lebih mengenal-Nya lebih dari pengenalanmu sendiri kepada-Nya.

Dan, masih ada ribuan potret lain yang tercecer dan luput dari memori ingatanku tentang betapa luasnya samudera cintamu untukku, Ibu. Kini kusadari sepenuhnya, betapa selama ini aku telah alfa dan tak jeli mencatat jejak-jejak rajutan kasih sayangmu di sepanjang alur usiaku.

Bahkan, karena begitu luas samudera cintamu itu, aku mungkin tak sadar telah diam-diam melukai hatimu, Ibu. Oh, maafkan semua kekhilafanku selama ini, Ibu. Untuk setiap ucapan dan tingkah laku yang mungkin telah menerbitkan sejumput benih-benih kemurkaan di ruang hati putihmu. Untuk setiap praduga dan bisikan hatiku yang tidak selayak-nya tentangmu. Maafkanlah aku, Ibu.

Wanita mulia itu, yang aku akan memanggilnya Ibu untuk selamanya, tak lain adalah istri dari ayahku sendiri. Ia yang mengasuhku sejak bayi merah hingga kutumbuh menjadi seorang laki-laki dewasa kini. Ia yang tak pernah lelah mendoakanku di setiap hela nafasnya. Ia yang cintanya seluas samudera.

Ya Allah, satu pintaku pada-Mu. Panjangkanlah usianya dalam nikmat iman dan sehat. Sampai aku bisa menghapus jejak tangisnya beberapa tahun lalu dengan binar kebahagiaan terpancar nyata dari pelupuk matanya suatu hari nanti. Sebelum salah seorang diantara kami, aku atau Ibu, menjumpai-Mu dengan senyum keikhlasan menyertai.

Kabulkanlah pintaku ini Ya Robbi. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Pengabul hajat hamba-MU.


Dikutip dari temanku di Multiply.com, Setta

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis komentar anda dibawah ini, namun diharapkan jangan melakukan spamming,hindari komentar yang menyinggung unsur SARA, berkata kasar serta hal-hal negatif lainnya, Terima Kasih, Semoga bermanfaat.